Memberi itu
lebih mudah daripada menerima.
Masa sih?
Pikirkan saja,
ketika Anda ingin memberi, yang harus Anda kendalikan adalah dirimu sendiri.
Tinggal Anda buang rasa sayang pada uang, Anda usir perasaan takut miskin, lalu
berikan uang itu kepada orang lain. Cukup. Tidak susah.
Sebaliknya,
ketika Anda ingin diberi, ketika Anda ingin menerima, tak semudah itu yang
harus Anda lakukan, sebab Anda harus mengendalikan orang lain. Anda harus
memikirkan, bagaimana supaya dia mau memberimu. Coba pikirkan, bagaimana
caranya?
Bingung bukan?
Baru mikir saja sudah bingung. Bagaimana melakukannya.
Di sebuah SMA
yang bangunannya berdiri di perkampungan terpencil, saya mengajar Bahasa
Indonesia. Gaji bulanan saya tidak tetap. Kadang dapat kadang tidak. Seperti
umumnya orang, saya dongkol bila tak dapat gaji. Rasanya lelah sekali mengajar
tanpa bayaran apapun. Ingin rasanya alpa mengajar, cari-cari alasan untuk tidak
datang, namun tidak tega. Kasihan anak-anak di kelas.
Saya hanya
protes dengan datang terlambat. Biar pengurus mengerti, terlambat saya ini
peringatan buat pengurus. Jika dia tak suka saya datang terlambat, mengapa dia
menggaji saya terlambat. Dengan sangat dungu, di depan anak-anak, seringkali
saya membangga-banggakan keterlambatan saya. ”Bukankah kalian gembira saya
lelet? Karena saya terlambat, jam pelajaran kalian jadi sebentar?”. Mereka
tertawa.
Ketika saya
renungkan, ternyata itu tindakan bodoh. Itu akhlaq tercela, dan akhlaq tercela
ini muncul dari jiwa yang lemah. Dan jiwa saya menjadi lemah, karena, saya
bermental miskin, hanya ingin mendapatkan dan mendapatkan.
Saya ingin
mendapatkan uang, tetapi ternyata majikan tidak memberikan. Seharusnya saya
berani, terus terang meminta. Untuk meminta, saya harus mengumpulkan
keberanian, resikonya ditolak, malu, dan mungkin majikan akan memandang saya
matre. Mending kalau si majikan memberi, bagaimana kalau tidak. Malu iya, dapat
uang tidak. Ingin mendapatkan sangat melelahkan.
Berbeda dengan
ketika pola pikir saya rubah. Ingin mendapat saya rubah jadi ingin memberi. Dan
segera, setelah saya tanamkan keinginan hanya memberi, hari-hari kelam seperti
berubah terang. Hidup rasanya lebih mudah dan lebih indah untuk dijalani. Tidak
mengapa gaji saya kurang layak, sepanjang saya bisa memberi, sepanjang itu pula
saya tetap bahagia. Sepanjang saya bisa mengajar, berbagi ilmu, berbagi
pengalaman dengan anak-anak, sepanjang itu pula saya senang. Api semangat
menyala, kreatifitas mengalir, saya ajak anak-anak jalan-jalan ke tengah alam,
menikmati pemandangan sungai, dari gelombang air, dari gemerisik daun bambu,
dan dari apapun ciptaan Alloh, lalu mengambil ungkapan indah darinya.
Ketika saya
ingin diberi, betapa sempit rasanya hidup ini.
Katika saya
ingin memberi, betapa luas, betapa banyak, betapa melimpah yang bisa saya
berikan.
Ketika saya
ingin diberi, yang saya rasakan adalah ketakutan.
Ketika saya
ingin memberi, yang saya rasakan adalah kegembiraan, kelapangan, semangat, dan
kreatifitas.
Memberi lebih
mudah daripada menerima.