Ketika saya menulis ini, terus
terang, saya bukanlah orang kaya. Apalagi konglomerat macam jutawan, milyarder atau
trilyuner. Aduh, bukan, bukan banget. Terus terang, saya orang biasa-biasa
dengan penghasilan tidak jelas, namun dengan kehidupan yang—ini menurut saya
sendiri—menyenangkan. Saya berani menulis buku ini bukan karena saya kaya raya.
Saya berani menulis ini karena saya telah membuktikan, dengan banyak memberi
dan berbagi, tiba-tiba rezeki datang mudahnya.
Pernah dulu, waktu masih suka
jalan-jalan, kahabisan ongkos di Kota Wisata Ciangsana, Cibubur, Bogor. Uang di
saku hanya 500 perak. Ingat dengan keajaiban sedekah, segera saya masukkan uang
500 perak itu itu ke kotak amal. Eh, beberapa jam setelah itu, saya bertemu
dengan seorang ibu. Ibu itu bukan guru saya, bukan ibu teman saya, apalagi ibu
kandung saya. bukan kerabat dekat, bukan kerabat setengah dekat, bukan pula
kerabat jauh. Ibu itu orang lain, dan baru kali ini saya berkenalan dengannya.
Tetapi, beberapa jam setelah berkenalan dengannya, dia memberi saya uang
Rp.50.000.
“Ah, paling juga menjual diri
kepada ibu itu, lalu Kamu mendapat upah darinya!” Kata Anda. Hust!
Na’udzubillah. Jaga mulut Anda! Ibu itu muslimah berjilbab lebar, istri seorang
dokter, dan dia sendiri pun seorang dukter. Dia selalu berdakwah dari satu
pengajian ke pengajian yang lain mengajarkan Al-Qur'an dan berbagai
keajaibannya. Dan akun pun, tentu saja, walau sekali dua kali doyan buat dosa,
tetapi buat dosa sebesar itu, masih berpikir seribu kali. Si ibu benar-benar
memberi kepada saya cuma-cuma, tanpa saya harus mengerjakan apapun untuknya,
tanpa saya harus memberikan ganti dari uang yang diberikanya. Bagi saya,
sungguh, pemberian ini benar-benar anugerah—karunia ALLOH sebagai bukti
kejaiban sedekah.
Kali lain, saya memberi kepada
seorang anak yatim 5 ribu malam hari, dan siangnya, ibu guru saya di sekolah
memberi saya 50 ribu. Kembali, kali ini pun saya mendapatkan pemberian dengan
cuma-cuma. Pernah pula, dalam masa-masa awal belajar menulis cerpen di media,
saya bagi honornya kepada seorang anak yatim sebesar 10 ribu saja, eh, setelah
itu, dua cerpen saya terbit berturut-turut, dan saya mendapatkan honor sebesar
100 ribu. Benenan! Kalau Anda tidak percaya juga, silahkan potong lidah...Anda
sendiri. He...
Yang paling terasa dan membuat
saya terkesan adalah, keajaiban sedekah yang saya rasakan pada masa-masa krisis
rumah tangga. Saat itu, karena di kampung saya tidak punya pekerjaan, istri dan
mertua meminta saya pergi dari rumah, mencari penghasilan dari tempat lain. Berat
rasanya meninggalkan keluarga, tetapi apa mau dikata, saya paksakan diri pergi
ke kota. Karena ingin hemat, saya meminjam sepeda tetangga. Empat puluh kilo
meter jauhnya mengayuh sepeda saya lalui. Hujan-hujanan, panas-panasan, di saat
kebanyakan orang, sudah punya motor, mobil, dan mereka nyaman dalam
kendaraannya jauh dari kesusahan. Harus saya alami ban bocor, rem hancur, dan
roda macet. Di jalan turun harus panik karena rem rusak, di jalan naik pun harus
didorong karena tidak kuat. Tujuan saya adalah kantor PLN. Di rumah seorang
saudara, saya tinggal berhari-hari, menunggu lowongan kerja, tetapi, belum juga
mendapat panggilan, saya jenuh, dan memutuskan pulang.
Dalam perjalanan pulang itu,
saya singgah di sebuah pesantren. Bukan untuk ngaji. Kebetulan pada koperasi di
pesantren itu saya menyimpan jualan buku bacaan, yang saya ambil dari sebuah
toko buku. Kurang lebih sebulan buku itu saya simpan, dan sekarang ingin
merorisnya. Ketika hasil jualan itu saya perhitungkan, ternyata labanya lumayan
juga. 30 ribu laba bersih saya dapatkan.
Ingat lagi dengan keajaiban
sedekah, sampai di kampung, saya antarkan uang itu ke rumah seorang janda...(hihi,
Anda jangan ngeres lagi)...bukan, bukan untuk meminangnya. Enak aja! Kuantarkan
uang ke sana karena dia punya tiga orang anak yatim. Dan masya ALLOH, setelah
itu, setelah kesusahan itu, setelah kelelahan pencarian kerja saya dengan bersepeda
hujan dan panas itu, setelah rasa putus asa karena merasakan kelemahan diri karena
tidak mendapatkan pekerjaan—setelah semua kemalangan itu, tiba-tiba datanglah
keberuntungan.
Tidak jauh dari kampung saya,
berdiri sebuah sekolah lanjutan. Saya datangi sekolah itu, lalu dengan
mudahnya, Pak Kepala sekolah memberikan kesempatan bagi saya untuk mengajar di
sekolahnya. Betah saya kerja di sana, senang mengajar anak-anak, menambah ilmu,
menggunakan komputer, bahkan, bisa melanjutkan kuliah dan mendapatkan hendphone
dan kendaraan inventaris, sesuatu yang sebelumnya, tak terbayangkan bisa saya
dapatkan.
Di sinilah saya memantapkan
keyakinan. Sungguh, sedekah itu solusi termudah untuk kehidupan yang indah.
Di kampus tempat saya kuliah, saya
buktikan lagi keajaiban sedekah berikutnya, dan kehidupan luar biasa saya
dapatkan. Tapi kisah saya yang ini, takkan saya ceritakan sekarang. Nanti, di
bab lain, dengan tema yang lain, saya akan menceritakannya panjang lebar.
No comments:
Post a Comment