Thursday, 21 February 2013

SAYA TELAH MEMBUKTIKANNYA




Ketika saya menulis ini, terus terang, saya bukanlah orang kaya. Apalagi konglomerat macam jutawan, milyarder atau trilyuner. Aduh, bukan, bukan banget. Terus terang, saya orang biasa-biasa dengan penghasilan tidak jelas, namun dengan kehidupan yang—ini menurut saya sendiri—menyenangkan. Saya berani menulis buku ini bukan karena saya kaya raya. Saya berani menulis ini karena saya telah membuktikan, dengan banyak memberi dan berbagi, tiba-tiba rezeki datang mudahnya.
Pernah dulu, waktu masih suka jalan-jalan, kahabisan ongkos di Kota Wisata Ciangsana, Cibubur, Bogor. Uang di saku hanya 500 perak. Ingat dengan keajaiban sedekah, segera saya masukkan uang 500 perak itu itu ke kotak amal. Eh, beberapa jam setelah itu, saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu itu bukan guru saya, bukan ibu teman saya, apalagi ibu kandung saya. bukan kerabat dekat, bukan kerabat setengah dekat, bukan pula kerabat jauh. Ibu itu orang lain, dan baru kali ini saya berkenalan dengannya. Tetapi, beberapa jam setelah berkenalan dengannya, dia memberi saya uang Rp.50.000.
“Ah, paling juga menjual diri kepada ibu itu, lalu Kamu mendapat upah darinya!” Kata Anda. Hust! Na’udzubillah. Jaga mulut Anda! Ibu itu muslimah berjilbab lebar, istri seorang dokter, dan dia sendiri pun seorang dukter. Dia selalu berdakwah dari satu pengajian ke pengajian yang lain mengajarkan Al-Qur'an dan berbagai keajaibannya. Dan akun pun, tentu saja, walau sekali dua kali doyan buat dosa, tetapi buat dosa sebesar itu, masih berpikir seribu kali. Si ibu benar-benar memberi kepada saya cuma-cuma, tanpa saya harus mengerjakan apapun untuknya, tanpa saya harus memberikan ganti dari uang yang diberikanya. Bagi saya, sungguh, pemberian ini benar-benar anugerah—karunia ALLOH sebagai bukti kejaiban sedekah.
Kali lain, saya memberi kepada seorang anak yatim 5 ribu malam hari, dan siangnya, ibu guru saya di sekolah memberi saya 50 ribu. Kembali, kali ini pun saya mendapatkan pemberian dengan cuma-cuma. Pernah pula, dalam masa-masa awal belajar menulis cerpen di media, saya bagi honornya kepada seorang anak yatim sebesar 10 ribu saja, eh, setelah itu, dua cerpen saya terbit berturut-turut, dan saya mendapatkan honor sebesar 100 ribu. Benenan! Kalau Anda tidak percaya juga, silahkan potong lidah...Anda sendiri. He...
Yang paling terasa dan membuat saya terkesan adalah, keajaiban sedekah yang saya rasakan pada masa-masa krisis rumah tangga. Saat itu, karena di kampung saya tidak punya pekerjaan, istri dan mertua meminta saya pergi dari rumah, mencari penghasilan dari tempat lain. Berat rasanya meninggalkan keluarga, tetapi apa mau dikata, saya paksakan diri pergi ke kota. Karena ingin hemat, saya meminjam sepeda tetangga. Empat puluh kilo meter jauhnya mengayuh sepeda saya lalui. Hujan-hujanan, panas-panasan, di saat kebanyakan orang, sudah punya motor, mobil, dan mereka nyaman dalam kendaraannya jauh dari kesusahan. Harus saya alami ban bocor, rem hancur, dan roda macet. Di jalan turun harus panik karena rem rusak, di jalan naik pun harus didorong karena tidak kuat. Tujuan saya adalah kantor PLN. Di rumah seorang saudara, saya tinggal berhari-hari, menunggu lowongan kerja, tetapi, belum juga mendapat panggilan, saya jenuh, dan memutuskan pulang.
Dalam perjalanan pulang itu, saya singgah di sebuah pesantren. Bukan untuk ngaji. Kebetulan pada koperasi di pesantren itu saya menyimpan jualan buku bacaan, yang saya ambil dari sebuah toko buku. Kurang lebih sebulan buku itu saya simpan, dan sekarang ingin merorisnya. Ketika hasil jualan itu saya perhitungkan, ternyata labanya lumayan juga. 30 ribu laba bersih saya dapatkan.
Ingat lagi dengan keajaiban sedekah, sampai di kampung, saya antarkan uang itu ke rumah seorang janda...(hihi, Anda jangan ngeres lagi)...bukan, bukan untuk meminangnya. Enak aja! Kuantarkan uang ke sana karena dia punya tiga orang anak yatim. Dan masya ALLOH, setelah itu, setelah kesusahan itu, setelah kelelahan pencarian kerja saya dengan bersepeda hujan dan panas itu, setelah rasa putus asa karena merasakan kelemahan diri karena tidak mendapatkan pekerjaan—setelah semua kemalangan itu, tiba-tiba datanglah keberuntungan.
Tidak jauh dari kampung saya, berdiri sebuah sekolah lanjutan. Saya datangi sekolah itu, lalu dengan mudahnya, Pak Kepala sekolah memberikan kesempatan bagi saya untuk mengajar di sekolahnya. Betah saya kerja di sana, senang mengajar anak-anak, menambah ilmu, menggunakan komputer, bahkan, bisa melanjutkan kuliah dan mendapatkan hendphone dan kendaraan inventaris, sesuatu yang sebelumnya, tak terbayangkan bisa saya dapatkan.
Di sinilah saya memantapkan keyakinan. Sungguh, sedekah itu solusi termudah untuk kehidupan yang indah.
Di kampus tempat saya kuliah, saya buktikan lagi keajaiban sedekah berikutnya, dan kehidupan luar biasa saya dapatkan. Tapi kisah saya yang ini, takkan saya ceritakan sekarang. Nanti, di bab lain, dengan tema yang lain, saya akan menceritakannya panjang lebar.

No comments:

Post a Comment