Rasa
pelitlah yang membuat kita terkungkung di kampung kita. Rasa pelit adalah
rantai baja bergembok raksasa yang membuat kita tidak bisa ke mana-mana.
Lepaskanlah rantai itu, bebaskan belenggumu dengan memberi. Tinggalkan dan
jangan pernah kau lirik lagi. Tutuplah sifat pelit itu dalam sebuah peti besi
tebal, kuncilah dan lemparkan anak kuncinya jauh-jauh. Kita pergi dan jelajahi
dunia karunia Alloh ini, memasuki wilayah-wilayah baru, kehidupan baru,
orang-orang baru, suasana baru, dan pengalaman-pengalaman baru.
Murah
hati adalah sepasang sayap elang yang bisa mengembang dan mengepak, membawa si
burung tinggi menjelajahi udara seluas-luasnya, sebebas-bebasnya. Menuju dunia
luas, tempat dia bisa pergi kemana saja sesuka dia, menikmati alam baru,
menyaksikan pemandangan baru.
Sifat
memberi ini sebuah misi yang akan diterima oleh seluruh dunia. Selama ini dunia
sesak dengan orang-orang yang inginnya hanya mendapatkan, maka banyak sekali
copet, koruptor, penjajah, pencuri, perampok, tukang tipu, dan banyak lagi
kejahatan lain. Dan selama ini dunia miskin dari orang yang senang memberi,
senang berkorban. Dunia sangat butuh dengan orang-orang seperti itu, maka
seluruh dunia sangat membutuhkan para penyeru yang mengajak manusia untuk cinta
memberi. Jika kita tampil dengan penuh keberanian, maka kita akan menjadi
manusia yang sangat dibutuhkan.
Aku
telah menikmatinya sendiri. Tatkala rasa pelit itu kulepaskan, memang pada
mulanya ada semacam kewaswasan, namun akhirnya, saya rasakan, saya bisa
memasuki dunia baru, pengetahuan baru, orang-orang baru, dan kehidupan baru.
Perjalanan menyenangkan, gemerlap kota dan kenikmatan makanan, orang-orang dari
seluruh pulau nusantara, kutemui setelah aku mencoba nekad untuk memberi. Kalau
Anda mau membaca, saya akan menceritakan kisah selengkapnya, hanya dalam cerita
ini, saya mengganti panggilan diri dengan kata ‘aku’ supaya lebih pendek.
Inilah kisahnya:
Orang berbadan besar itu sedang duduk di jalur suci.
Jalur suci adalah semacam jalan yang mempunyai saung di tengah komplek asrama
pesantren. Kursi yang tampak kekecilan dibanding demplon pantatnya. Dua orang
sedang menemaninya ngobrol dan dia menghadapinya dengan serius. Namun melihat
kedatanganku, dia antusias menyambut. “Ada apa Jang?” tanyanya.
Oh, gembiranya aku dipanggil ujang. Kayak bujangan lagi
gitu. Padahal, sudah beristri beranak. Hehe.
Kukatakan kepadanya ingin melihat data santri. Dia tanya
mau apa dengan data itu. Kujawab ingin melihat data anak yatim, aku ada rizki
sedikit. Lalu dia katakan, anak yatim itu telah ada walinya masing-masing,
telah ada yang menanggungnya.”Saran saya, supaya epektif, berikan saja pada
santri yang jelas-jelas kurang mampu, itu di bagian kebersihan.”
Mendengar itu aku tertegun, sebab aku hanya ingin
memberikan uangku kepada anak yatim. Itu pun anak yatim dari para santri
perempuan. Bukannya tidak ingin memberi kepada santri laki-laki, namun sebagian
mereka perokok dan aku khawatir mereka membelikan uang itu untuk rokok. Aku tak
rela, sedang jika uang itu kuberikan kepada santri yatim perempuan, tidak
munkin mereka membelikannya untuk rokok.
Kukatakan lagi pada Kang Ajid, orang berbadan besar itu,
bahwa aku tetap ingin memberi anak yatim. Namun dia kembali mengulangi
sarannya, supaya apektif, lebih baik uang diberikan kepada santri kurang mampu
saja. Dan aku kalah ketika dia teriak memanggil seorang santri ketua
kebersihan. Dan aku pasrah. Biarlah, mudah-mudahan memberi mereka pun besar
pahalanya.
Dan ketika ketua kebersihan datang, kucium tangan Kang
Ajid, mengikuti santri itu menuju pondok kayu sederhana di pinggir sawah.
Ketika masuk, di dalamnya banyak sekali lemari. Itu lemari milik para
penghuninya.
Si Ketua kebersihan mempersilahkanku duduk pada sebuah
bangku kayu yang dialasi tikar. Langsung kutanyakan kepadanya, berapa orang
semuanya di sini?. Dia katakan, dua belas orang.
“Tidak
keberatan jika aku titip pesan?” tanyaku.
“Tidak
sama sekali” jawabnya.
“Uang
ini memang sedikit. Tapi, tolong sampaikan kepada teman-temanmu, jangan sampai
membelikan uang ini pada rokok. Mereka suka merokok?”
“Ya.”
“Tolong
sampaikan ya!”
“Iya”
“Anda
sendiri suka merokok?” tanyaku
“Tidak.”
“Nah,
kalau begitu, khusus untukmu aku beri lebih. Yang lain sepuluh ribu, Anda dua
puluh ribu.”
“Terima
kasih sebelumnya. Terima kasih sekali.”
Bereslah uang hari itu
kuberikan. Total semuanya 170.000. Lega sekali dan rasanya begitu
bahagia mendengar orang itu berterima kasih kepadaku. Seharusnya, bukan orang
itu yang berterima kasih kepadaku, tapi akulah yang harus berterima kasih
kepadanya. Mereka telah menerima pemberianku, dan karena itu, berarti mereka
menyediakan dirinya untuk kujadikan jalan menggapai keridhaan Alloh.
Ingat segala karunia Alloh dan kemurahan-Nya rasanya aku
ingin menangis. Dia memberikan rezeki kepadaku, dan setelah itu dia ilhamkan
juga kepadaku kemauan untuk memberikannya. Uang itu kusedekahkan karena telah
kurasakan kebenaran janji-Nya. Setelah aku memberi kepada orang-orang,
pendapatkanku menjadi banyak, melimpah ruah, datang dari mana-mana. Betapa
kasih sayangnya Alloh kepadaku dan kepada semua manusia. Lihatlah Dia telah
memberi tahu, bahwa mendapatkan rizki sebanyak-banyaknya caranya mudah saja,
yaitu tinggal memberi sebanyak-banyaknya. Motor yang kutunggangi ini, adalah
bukti nyata kebenaran janji Alloh itu. Setelah aku memberi kepada anak-anak
yatim, tiba-tiba kepala sekolah memberikanku sebuah motor. Vega R.
Sekarang,
setelah uang itu kuberikan kepada mereka, tinggal kutunggu, apa yang akan Alloh
kehendaki pada kehidupanku. Aku tinggal menunggu.
Dan hari Jum’at kuterima sebuah pesan dari wakil kepala
sekolah, jika aku harus siap-siap, sebab hari Senin nanti, aku harus berangkat
ke Jakarta untuk mengikuti seminar selama tiga hari.
Dalam hati aku menduga-duga, “Ya Alloh, benarkah jalan
rizkiku akan datang dari sana, dari kota, dari Jakarta. Tapi bagaimana? Ya
Alloh, aku berserah diri kepada-Mu, aku tidak mau berharap terlalu banyak
kepada manusia. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Memberi.”
Tiba hari Senin, wakil kepala sekolah mengantarkanku ke
kota dengan kijang coklat. Derat-derit suara onderdilnya menyedihkan sekali.
Aku kasihan kijang ini dibawa lari kencang. Kami diburu waktu, jam sudah
menunjukkan pukul delapan lebih, sedang aku, harus sampai di Jakarta sebelum
pukul 4.00 sore. Jika terlambat, bisa gagal acaraku. Sebab salah satu syarat
mengikuti acara itu aku harus mendapatkan kartu undangan dari loantai 8
Kementerian Agama. Tanpa kartu undangan itu aku takkan bisa memasuki hotel.
Kartu undangan itu sebagai tanda bahwa aku sah bisa mengikuti seminar.
Tiba di terminal, sebelum naik bis, wakil kepala sekolah
memberiku uang tiga ratus lima puluh ribu. Tak kusangka, padahal ke Jakarta,
bolak balik, cukup dengan uang seratus ribu. Atau paling banyak seratus lima
puluh ribu. Di dalam mobil aku menangis, ingat kemurahan Alloh kepadaku.
Alhamdulillah, aku tiba di lantai 8 Kementerian Agama
sebelum pukul 4.00. surat undangan itu kudapatkan, dan aku menuju hotel.
Hotel? Aku menuju hotel? Kalau tidak salah, inilah kali
pertamanya aku menginap di hotel.
Kukira, hotel Jakarta bukanlah hotel sembarangan. Paling tidak lima tingkat denan fasilitas
turun naik pake lip. Dan ternyata, lebih dari yang kuduga. Hotel yang kudatangi
itu sebuah hotel dengan tarip mahal. Seratus ribu per jam. Setidaknya aku akan
dua hari tinggal di sana, maka berate aku akan tinggal 2 x 24 jam = 48 x
100.000 = 4.800.000.
Dan
demikianlah yang terjadi. Aku tinggal di hotel itu dalam keadaan bahagia
sekali. Makan enak, boleh milih sesuka hati, dengan menu-menu bergizi,
buah-buahan, pudding, minuman-minuman enak, tidur dan mandi dengan nyaman
sekali. Di kamar mandi ada cermin besar, yang setiap kali aku masuk ke sana,
aku bisa melihat wajah tampanku. Hey, Anda jangan mencibir dong. Bukannya aku sombong
ngaku-ngaku tampan! Kan diajarkan oleh agama juga, jika bercermin itu kita
harus berdo’a. Ya Alloh, sebagaimana Engkau telah memperindah wajahku, perindah
pula akhlaqku.” Berarti di sana ada pengakuan, bahwa wajah kita ini indah. Ya,
begitulah alasannya mengapa aku ngaku-ngaku diriku tampan. Tampan sekedar jika
dibandingkan dengan binatang.
Kita
teruskan lagi, pokoknya aku tinggal di hotel itu dengan fasilitas serba
menyenangkan. Kamar full AC, televisi, tempat tidur empuk, meja rias, telfon,
internet bebas pulsa, kamar mandi dengan shower, yang jika diputar tombolnya,
air seperti hujan menyiramku, yang jika aku mau, aku bisa memutarnya menjadi
dingin, dan bisa pula memutarnya menjadi air hangat.
Satu
jenis makanan paling tidak berharga tiga puluh ribu, belum jika ingin makan
berbagai macam, belum lagi minuman, buah-buahan, entah harus berapa uang
kukeluarkan jika harus dari saku sendiri. Tapi di sini, aku bisa bebas makan
sesukanya, mengambil apapun yang kuinginkan, daging sapi, sayur, goreng ayam,
cap-cay, rujak, dan berbagai macam makanan yang enak-enak, dan semua itu
gratis. Kalau kuhitung, entah berapa juta yang harus kubayar untuk semua
fasilitas ini.
Oh
ya, hotel yang kutinggali ini namanya hotel Maharani. Kalau tidak salah, ada
sembilan entah sepuluh tingkat, aku lupa lagi. Aku turun naik ke atas ke bawah,
bisa memakai lif. Dan beres acara seminar, panitia menganti ongkosku sebesar
300.000, kemudian bekal harianku sebesar 690.000. Jadi semuanya 990.000. Uang
di dompetku bertambah 990.000. Masya Alloh.
Ini
semua, kehadiranku di sini, dan semua fasilitas yang kunikmati, semua ini atas
kehendak Alloh. Ini sangat jarang kudapatkan, dan yakin kudapatkan, karena
Alloh tidak pernah mengingkari janji-Nya…
Inilah balasan dari sedekahku beberapa hari lalu. Ya
Alloh, terima kasih ya Alloh. Ini sebuah petualangan yang indah. Luas rasanya
dunia, dan aku tiba di tempat yang tidak pernah kuinjak sebelumnya, bukan
dengan kemampuanku melainkan dengan kekuasaan Alloh. Itu baru sedekah sedikit
saja, maka pastilah terlebih lagi jika sedekah lebih banyak, aku akan menikmati
petualangan ke seluruh dunia.