Ini catatan harian
saya tentang suatu hari:
Saat itu dunia rasanya
mau kiamat. Sekaranglah saatnya motor saya hilang. Baru beberapa hari saya
bermesra-mesra dengannya, kini harus berpisah lagi. Di depan, beberapa orang
polisi mencegat. Tak punya lagi kesempatan lari.
Padahal saya dan
keluarga, telah bahagia dengan motor ini. Tak khawatir
lagi mogok, tak lagi jengkel susah hidup, tak diganggu lagi kabilator mampet. Tidak
seperti motor yang dulu, si Burtukol, motor Cina reyot nan amburadul itu,
bersama si Vega, saya bisa bersantai sepanjang jalan, dan dengan si Vega juga,
saya bisa mendatangi rumah ayah angkat kesayangan saya, Pak Haji dengan rasa
percaya diri. Tak malu lagi motor saya dinaikan ke terasnya, tak malu lagi jika
malam dimasukkan ke rumahnya, seperti yang
saya rasakan dulu ketika saya membawa motor reyot itu.
Namun
sekarang...sekarang...si Vega mau pergi lagi dibawa polisi? Aduh Vega, mengapa
ini terjadi pada kita? Sulit rasanya saya percaya. INI BENAR-BENAR BENCANA!
Memang sih, sudah
selayaknya motor ini ditangkap. Pajaknya terlambat tiga bulan, dan saya sendiri
tidak membawa SIM, karena memang tidak punya. Maka melihat polisi mencegat,
saya siap menyerahkan diri. Saya pelankan jalan motor, siap berhenti, pasrah
diintrogasi, untuk tunduk sambil menunduk, seperti gajah duduk memikul kapuk,
mengakui setiap gugatan yang ditonjokkan kepada saya.
Akan saya
pasrahkan saja motor ini. Biarlah nanti pulang naik angkutan. Mungkin ini,
memang sudah nasib saya siang ini. Takdir
teu bisa dipungkir, kadar teu beunang disinglar, begitu kata orang Sunda.
Di depan para
polisi itu, jalan motor saya buat pelan. Semakin lama semakin pelan, namun,
tepat di depan polisi paling ujung, timbul niat berusaha menyelamatkan diri.
Sebisanya saya harus menyelamatkan diri. Semut saja, kalau terjepit di celana
orang, sebelum akhirnya mati, masih sempat dia mengigit...emh...mengigit...kulit
orang itu. Masa sih sedikit pun saya tidak melawan. Maka tepat di ujung barisan
polisi, gas ditarik, motor melesat lari. Biarlah polisi mengejar di belakang.
Jika tertangkap, mungkin itu memang nasib saya, tapi jika tidak, itu
keberuntungan besar.
“E...e...eh” kata
pak polisi.
Motor saya bawa
lari. Tak jauh dari sana, setelah sebuah tikungan, saya melihat ada halaman
terbuka. Saya belokkan motor ke sana. Itu halaman rumah orang. Langsung motor
saya kunci dan, seperti kucing baru saja mencuri ikan, saya berlari ke belakang
rumah, dan sembunyi di sana.
Di belakang rumah
itu, tingkah laku saya tak jelas. Seperti monyet keracunan jengkol, saya tak
bisa diam. Berjalan hilir-mudik tak tentu arah. Kadang ngintip ke depan,
kembali lagi ke belakang. Ngintip lagi ke depan, kembali lagi ke belakang. Badan
panas dingin. Jaket saya lepas, demikian pula kemeja. Saya tidak mengerti untuk
apa saya melepas jaket, tapi lebih tidak mengerti lagi untuk apa saya melepas
kemeja. Setelah sadar, kemeja saya pakai lagi. Begitulah orang panik,
kelakuannya suka tak masuk akal.
Tangan masih
gemetaran. Wajah rasanya kehabisan darah. Pucat pasi. Saya memberanikan diri ke
depan rumah, berjalan mengendap-ngendap, sambil tengak-tengok ke jalan,
memastikan ada tidaknya polisi mengejar. Tidak ada ternyata, saya hanya
menemukan seorang laki-laki telah berdiri di sana. Rupanya pemilik rumah itu.
Saya memohon maaf kepadanya telah lancang menyimpan motor di halamannya, jujur
saya katakan saya takut dikejar polisi. Dia katakan, tak mengapa, lalu dia
sarankan, sebaiknya saya tak usah panik, tidak usah takut, polisi di sini tidak
biasa mengejar. Kalau motor sudah lari, dibiarkan saja lari.
“Santai sajalah, jangan
takut, kalau takut nanti malah celaka di perjalanan. Teruskan saja perjalanan.
Tenang saja, polisi itu tidak akan mengejar kok,” Katanya menenangkan saya.
Laki-laki itu
mengambil air, memberi saya minum. Saya berterima kasih, mengucap salam sepenuh
hati, lalu pamit pergi. Motor saya bawa lari, namun dengan hati-hati, sambil
terus berusaha menenangkan diri. Lega saya rasakan setelah perjalanan agak
jauh, namun tiba-tiba... saya teringat sesuatu. Jaket! Jaket saya ketinggalan
di belakang rumah!!
Ya terpaksa balik
lagi.
Tiba di rumah
dengan selamat, bahagia saya tak terkira. Beberapa jam berlalu setelah kejadian
itu, saya mulai menghitung-hitung nilai keselamatan dari tertangkap polisi itu.
Rp.250.000,- untuk denda tidak punya
SIM, Rp.200.000,- untuk denda STNK terlambat, wah hampir setengah juta kerugian
jika saya tertangkap. Bagi saya itu bukan musibah kecil. Kalau saja saya
pasrah, entah bagaimana sekarang nasib saya. Untungnya tadi ada pikiran lari. Memang
ini sebuah pelanggaran, tapi bagi saya, tetap ini sebuah keselamatan. Meski tak
semua orang setuju, namun saya memandang peristiwa ini sebuah KESELAMATAN DARI
BENCANA.
Semua keselamatan
berasal dari Alloh, namun saya bertanya-tanya, apakah yang sudah saya lakukan
hingga saya selamat dari bencana. Dan teringatlah sesuatu. Beberapa hari
sebelum kejadian ini saya sedekah, dan saat itu saya nantikan, apakah balasan
yang akan Alloh berikan kepada saya. Hari inilah terasanya, mungkin inilah
balasannya, selamat dari musibah: tidak ditangkap polisi. Hehe...
Sedekah itu tameng
kesialan dan bencana-bencana.
No comments:
Post a Comment