Thursday, 7 March 2013

TERHINDAR DARI BENCANA



Ini catatan harian saya tentang suatu hari:
Saat itu dunia rasanya mau kiamat. Sekaranglah saatnya motor saya hilang. Baru beberapa hari saya bermesra-mesra dengannya, kini harus berpisah lagi. Di depan, beberapa orang polisi mencegat. Tak punya lagi kesempatan lari.
Padahal saya dan keluarga, telah bahagia dengan motor ini. Tak khawatir lagi mogok, tak lagi jengkel susah hidup, tak diganggu lagi kabilator mampet. Tidak seperti motor yang dulu, si Burtukol, motor Cina reyot nan amburadul itu, bersama si Vega, saya bisa bersantai sepanjang jalan, dan dengan si Vega juga, saya bisa mendatangi rumah ayah angkat kesayangan saya, Pak Haji dengan rasa percaya diri. Tak malu lagi motor saya dinaikan ke terasnya, tak malu lagi jika malam dimasukkan ke rumahnya, seperti yang  saya rasakan dulu ketika saya membawa motor reyot itu.
Namun sekarang...sekarang...si Vega mau pergi lagi dibawa polisi? Aduh Vega, mengapa ini terjadi pada kita? Sulit rasanya saya percaya. INI BENAR-BENAR BENCANA!
Memang sih, sudah selayaknya motor ini ditangkap. Pajaknya terlambat tiga bulan, dan saya sendiri tidak membawa SIM, karena memang tidak punya. Maka melihat polisi mencegat, saya siap menyerahkan diri. Saya pelankan jalan motor, siap berhenti, pasrah diintrogasi, untuk tunduk sambil menunduk, seperti gajah duduk memikul kapuk, mengakui setiap gugatan yang ditonjokkan kepada saya.
Akan saya pasrahkan saja motor ini. Biarlah nanti pulang naik angkutan. Mungkin ini, memang sudah nasib saya siang ini. Takdir teu bisa dipungkir, kadar teu beunang disinglar,  begitu kata orang Sunda.
Di depan para polisi itu, jalan motor saya buat pelan. Semakin lama semakin pelan, namun, tepat di depan polisi paling ujung, timbul niat berusaha menyelamatkan diri. Sebisanya saya harus menyelamatkan diri. Semut saja, kalau terjepit di celana orang, sebelum akhirnya mati, masih sempat dia mengigit...emh...mengigit...kulit orang itu. Masa sih sedikit pun saya tidak melawan. Maka tepat di ujung barisan polisi, gas ditarik, motor melesat lari. Biarlah polisi mengejar di belakang. Jika tertangkap, mungkin itu memang nasib saya, tapi jika tidak, itu keberuntungan besar.
“E...e...eh” kata pak polisi.
Motor saya bawa lari. Tak jauh dari sana, setelah sebuah tikungan, saya melihat ada halaman terbuka. Saya belokkan motor ke sana. Itu halaman rumah orang. Langsung motor saya kunci dan, seperti kucing baru saja mencuri ikan, saya berlari ke belakang rumah, dan sembunyi di sana.
Di belakang rumah itu, tingkah laku saya tak jelas. Seperti monyet keracunan jengkol, saya tak bisa diam. Berjalan hilir-mudik tak tentu arah. Kadang ngintip ke depan, kembali lagi ke belakang. Ngintip lagi ke depan, kembali lagi ke belakang. Badan panas dingin. Jaket saya lepas, demikian pula kemeja. Saya tidak mengerti untuk apa saya melepas jaket, tapi lebih tidak mengerti lagi untuk apa saya melepas kemeja. Setelah sadar, kemeja saya pakai lagi. Begitulah orang panik, kelakuannya suka tak masuk akal.
Tangan masih gemetaran. Wajah rasanya kehabisan darah. Pucat pasi. Saya memberanikan diri ke depan rumah, berjalan mengendap-ngendap, sambil tengak-tengok ke jalan, memastikan ada tidaknya polisi mengejar. Tidak ada ternyata, saya hanya menemukan seorang laki-laki telah berdiri di sana. Rupanya pemilik rumah itu. Saya memohon maaf kepadanya telah lancang menyimpan motor di halamannya, jujur saya katakan saya takut dikejar polisi. Dia katakan, tak mengapa, lalu dia sarankan, sebaiknya saya tak usah panik, tidak usah takut, polisi di sini tidak biasa mengejar. Kalau motor sudah lari, dibiarkan saja lari.
“Santai sajalah, jangan takut, kalau takut nanti malah celaka di perjalanan. Teruskan saja perjalanan. Tenang saja, polisi itu tidak akan mengejar kok,” Katanya menenangkan saya.
Laki-laki itu mengambil air, memberi saya minum. Saya berterima kasih, mengucap salam sepenuh hati, lalu pamit pergi. Motor saya bawa lari, namun dengan hati-hati, sambil terus berusaha menenangkan diri. Lega saya rasakan setelah perjalanan agak jauh, namun tiba-tiba... saya teringat sesuatu. Jaket! Jaket saya ketinggalan di belakang rumah!!
Ya terpaksa balik lagi.
Tiba di rumah dengan selamat, bahagia saya tak terkira. Beberapa jam berlalu setelah kejadian itu, saya mulai menghitung-hitung nilai keselamatan dari tertangkap polisi itu. Rp.250.000,-  untuk denda tidak punya SIM, Rp.200.000,- untuk denda STNK terlambat, wah hampir setengah juta kerugian jika saya tertangkap. Bagi saya itu bukan musibah kecil. Kalau saja saya pasrah, entah bagaimana sekarang nasib saya. Untungnya tadi ada pikiran lari. Memang ini sebuah pelanggaran, tapi bagi saya, tetap ini sebuah keselamatan. Meski tak semua orang setuju, namun saya memandang peristiwa ini sebuah KESELAMATAN DARI BENCANA.
Semua keselamatan berasal dari Alloh, namun saya bertanya-tanya, apakah yang sudah saya lakukan hingga saya selamat dari bencana. Dan teringatlah sesuatu. Beberapa hari sebelum kejadian ini saya sedekah, dan saat itu saya nantikan, apakah balasan yang akan Alloh berikan kepada saya. Hari inilah terasanya, mungkin inilah balasannya, selamat dari musibah: tidak ditangkap polisi. Hehe...
Sedekah itu tameng kesialan dan bencana-bencana.

No comments:

Post a Comment