Bisnis memberi
membawamu pada petualangan menarik. Hidupmu jadi penuh misteri, rasa penasaran,
pertanyaan-pertanyaan, kecemasan namun penuh keindahan.
Orang yang bekerja
di sebuah perusahaan, dia sudah tahu uangnya akan datang dari bosnya, sebulan
sekali, pada tanggal sekian. Itu pun kalau bosnya baik. Sedangkan orang yang
hidup dengan motto memberi, dia tak tahu keuntungannya akan datang dari mana,
senantiasa misteri, susah diduga, dan rezekinya selalu datang dari arah yang
tidak disangka-sangka. Selalu misteri. Itulah sisi menariknya. Bukankah Anda
senang misteri?
Anda akan terus
membaca sebuah buku sampai selesai jika buku itu mengandung misteri.
Habiburahman el-Shirazi tidak menulis kisah misteri, tetapi jalan cerita dari
novel-novelnya selalu misterius. Dia selalu membuat penyelesaian yang sulit
diduga, yang karenanya orang menjadi penasan, dan selalu ingin menyelesaikan
ceritanya, yang karenanya, banyak orang suka dengan novelnya, yang karenanya
pula, novelnya itu laris terjual. Selalu. Orang senang dengan misteri, senang
dengan kejutan-kejutan, senang dengan sesuatu yang cerita-cerita tak terduga.
Dan itulah yang akan terjadi pada kehidupan Anda manakalah Anda menjalani hidup
sebagai orang yang senang memberi. Rezeki Anda akan datang dari arah yang tak
terduga dan tidak disangka-sangka.
Memberilah, lalu
alamilah, hidupmu akan dipenuhi petualangan menarik. Keberuntunganmu selalu tak
terduga. Cerita hidupmu, akan lebih menarik dari Petualangan Ali Baba.
Kalau saja ada
cerita orang lain, mungkin yang saya ceritakan kisah orang lain. Sayangnya,
saya hanya punya kisah saya sendiri, jadi ya, cerita diri saya saja yang bisa Anda
baca.
Ini cerita
perjalanan pulang saya dari Jakarta, habis mengantar Pak Fatah dari Kementerian
Agama. Saat itu jalanan macet, dan saat-saat sepeti itu saya manfaatkan membaca
buku, judulnya The Secret. Penampilan buku itu cukup cantik. Sampul luar licin
keras kecoklatan sedang kertas bagian dalamnya, ful kertas lux dari halaman
awal hingga akhir. Salah satu bab menarik di dalamnya adalah tentang pentingnya
memberi. Kata buku itu, memberikan uang akan menjadikan kita merasakan
berkelimpahan akan uang, dan perasaan itu akan membuat uang datang lebih banyak
kepada kita. Membaca itu, saya jadi termotivasi untuk memberi. Hanya saja saya
tidak mau berbuat atas petunjuk buku itu. Berbuat atas perintah ALLOH, itulah
niat yang saya tetapkan. Kata-kata di buku itu hanyalah penguat supaya saya
lebih yakin dengan perintah Alloh.
Tampak di
pinggiran jalan, selain tukang kacang, tukang tahu dan tukang lontong, berdiri
pula di sana beberapa orang pengemis. Kaca mobil saya buka, lalu berkali-kali,
lembaran uang dua ribuan saya berikan kepada mereka. Ah memalukan, memberi uang
dua ribuan saja diceritakan. Namun ini saya lakukan demi menambah keyakian saya
akan janji ALLOH. Saya ingin keyakinan saya bertambah, bahwa jika memberi,
Alloh akan memberikan balasan dan pengembalian yang lebih banyak, namun
bagaimana cara datangnya pengembalian itu, dari mana, dari siapa, dan apa
bentuknya, saya tidak pernah tahu, masih misteri.
Mungkin nanti Pak
Fatah akan memberi kepadaku...tapi oh, itu tak mungkin. Jangankan memberi, dia
sendiri saja sedang kerepotan. Untuk ongkos perjalanan ini, entah dia
menghabiskan berapa. Saya tak berharap sama sekali. Saya hanya mengharapkan
keuntungan dari Alloh. Saya menunggu. Keuntungan apakah yang akan datang kepada
saya kemudian?
Akan tetapi, masya
Alloh, rupanya, bukannya mendapatkan keuntungan, sebaliknya, yang saya dapatkan
kemudian adalah, saya malah terancam kematian. Masuk Jalan Tol Cipularang, Pak
Fatah diserang ngantuk. Saya panik dan tegang. Ngantuk di jalan tol adalah
penyebab terbanyak kecelakaan maut. Saya ketakutan dan sadar, ternyata, bukan
uang yang sekarang benar-benar saya butuhkan, tapi keselamatan. Saya hanya ingin
selamat. Sungguh hanya ingin selamat, kembali ke rumah, kumpul lagi bersama
keluarga tanpa kurang suatu apa.
Saya terus
memikirkan bagaimana caranya supaya Pak Fatah terus-menerus dalam keadaan
segar. Ingin saya melawak, tapi takut lawakan saya garing. Takut bukannya membuat
Pak Fatah tertawa, tapi malah membuatnya sebal. Saya mencoba menghiburnya
dengan perhatian, wajah siap mendengar curhatannya, supaya dia merasa dihargai, bersemangat, mau bercerita,
dan tidak ngantuk lagi. Namun gagal, yang biasanya banyak bicara, kini Pak
Fatah lebih banyak diam. Ngantuknya makin akut. Berkali-kali kepalanya menunduk
layu, seperti ayam kampung kena tetelo.
Pak Fatah
istighfar, lalu takbir, lalu solawat,
lalu istighfar lagi, sholawat lagi, takbir lagi, berusaha mengusir ngantuk,
tapi dia pun gagal. Dia mengeluh sambil memijit-mijit kepalanya sendiri.
“Haduh, ngantuk,”
keluhnya.
Kemudian Pak Fatah
mengulurkan tangan. “Pak Guru, tolong pijit jari-jari ini!”
Saya pijiti
jari-jarinya, sejak pangkal hingga ujung, dengan gaya ahli akupuntur, sambil
digetar-getarkan, namun tetap, bibir mata Pak Fatah terus-menerus mau terjun.
Ganti pak Fatah menyuruh saya memijiti lehernya. Saya turuti, saya pijiti
lehernya dengan sungguh-sungguh. Ingin rasanya mencekik leher Pak Fatah ini
sampai lidahnya keluar dan matanya melotot, supaya tidak ngantuk, tapi tak
berani. Saya pijiti biasa saja, dan tetap, ngantuknya tak juga pergi.
Ganti lagi dia
minta dipijiti pelipisnya, saya penuhi, tapi susah, ngantuknya benar-benar
parah. Harusnya, jika ngantuk dalam kendaraan, menepi dulu ke pinggir,
istirahat dan tiduran, namun ini tak mungkin. Kami ada di jalan tol. Berhenti
di pinggiran jalan tol bisa ditangkap polisi.
Pak Fatah sendiri
terus berupaya mengusir ngantuk, dan akhirnya, “Pak Guru, tolong jitakin kepala
saya!”
“Wah, Pak, tidak
mau, itu tidak sopan.” Tolak saya.
“Alah , cepat!!!”
paksa pak Fatah.
Saya angkat tangan
dengan terpaksa, dan mulai menjitaki kepala Pak Fatah.
Karena canggung,
jitakan saya perlahan saja.
“YANG KERAS
MENJITAKNYA!!” Teriak Pak Fatah.
Perlahan-lahan,
saya buat jitakan saya bertambah keras. Tapi lama-lama, kasihan juga, rasanya
kok, saya begitu kurang ajar. Sepertinya, ini pertama kali dalam sejarah ada
anak buah menjitak-jitak kepala majikannya.
Ketika jalan tol
berakhir, lega rasanya. Tiba di Bandung, saya kira Pak Fatah mau menepikan
mobilnya. Ternyata tidak. Terus saja dia tancap gas, padahal ngantuknya sudah
sangat parah. Saya makin cemas. Di sebuah jalan, mobil menyerempet ke pinggir.
Hampir saja seorang laki-laki terserempet. Untung saja laki-laki itu meloncat.
Setelah kejadian
itu, barulah Pak Fatah sadar, dia butuh istirahat, butuh tidur, maka mobil dia
belokkan ke taman pom bensin. Lalu dia tiduran di sana. Saya lega selamat.
Keselamatan inilah harta termahal. Tadi saya harapkan balasan uang dari sedekah
saya, padahal keselamatan ini lebih mahal dari uang berapa pun jumlahnya.
Alangkah cepat perhitungan Alloh.
Kami tiduran dan
baru tersadar setelah udara mulai dingin. Tengah malam telah lewat, waktu pun
turun ke dini hari. Pak Fatah telah segar, siap lagi meneruskan perjalanan.
Kini kembali wajahnya ceria, mulutnya kembali berkicau, dan tawanya ngakak
lagi. Dia curhat tentang ini tentang itu, tentang lembaga pendidikannya,
tentang rumah tangganya, dan akhirnya, dia bercerita tentang istrinya yang
sangat muda itu.
Saya dengarkan
penuh perhatian segala curhatnya. Kata dia, istri mudanya kini telat bulan.
Kemungkinan besar dia hamil, namun dia masih tanda tanya, belum bisa memastikan
kehamilannya. Pak Fatah mengungkapkan, ketika si istri memberitahukan tentang
perutnya, terasa kebahagiaan merayapi batok kepalanya.
Saya tanggapi
dengan tawa, sikap antusias, dan saya tunjukkan kegembiraan atas kabar baiknya,
lalu, supaya dia bisa memastikan hamil tidaknya si istri, saya sarankan kepadanya
membeli tes urin.
“Dari mana?” tanya
Pak Fatah.
“Dari apotek.”
Jawab saya
Tepat pada saat
itu, kami melewati apotek. Pak Fatah menepikan mobilnya, menyuruh saya membeli
tes urin. Saya beli dengan gembira, membawanya ke mobil dengan gembira, saya
berikan dengan gembira, dan Pak Fatah pun, menerimanya dengan gembira.
Curhatnya makin deras.
Pak Fatah gembira
sekali. Saking gembiranya, dia ajak saya makan di rumah makan, jajan
buah-buahan, memberi saya setangkai anggur, dan selembar uang lima puluh ribu.
Subhanalloh, ini benar-benar rizki tak terduga.
Memberi,
menjadikan perjalanan saya penuh misteri.
Jika Anda ingin
jalan hidup Anda penuh misteri, mari kita jalani hidup sebagai pemberi.
Rajin-rajinlah
memberi.
No comments:
Post a Comment