Thursday 7 March 2013

ALAMILAH PETUALANGAN MENARIK



Bisnis memberi membawamu pada petualangan menarik. Hidupmu jadi penuh misteri, rasa penasaran, pertanyaan-pertanyaan, kecemasan namun penuh keindahan.
Orang yang bekerja di sebuah perusahaan, dia sudah tahu uangnya akan datang dari bosnya, sebulan sekali, pada tanggal sekian. Itu pun kalau bosnya baik. Sedangkan orang yang hidup dengan motto memberi, dia tak tahu keuntungannya akan datang dari mana, senantiasa misteri, susah diduga, dan rezekinya selalu datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Selalu misteri. Itulah sisi menariknya. Bukankah Anda senang misteri?
Anda akan terus membaca sebuah buku sampai selesai jika buku itu mengandung misteri. Habiburahman el-Shirazi tidak menulis kisah misteri, tetapi jalan cerita dari novel-novelnya selalu misterius. Dia selalu membuat penyelesaian yang sulit diduga, yang karenanya orang menjadi penasan, dan selalu ingin menyelesaikan ceritanya, yang karenanya, banyak orang suka dengan novelnya, yang karenanya pula, novelnya itu laris terjual. Selalu. Orang senang dengan misteri, senang dengan kejutan-kejutan, senang dengan sesuatu yang cerita-cerita tak terduga. Dan itulah yang akan terjadi pada kehidupan Anda manakalah Anda menjalani hidup sebagai orang yang senang memberi. Rezeki Anda akan datang dari arah yang tak terduga dan tidak disangka-sangka.
Memberilah, lalu alamilah, hidupmu akan dipenuhi petualangan menarik. Keberuntunganmu selalu tak terduga. Cerita hidupmu, akan lebih menarik dari Petualangan Ali Baba.
Kalau saja ada cerita orang lain, mungkin yang saya ceritakan kisah orang lain. Sayangnya, saya hanya punya kisah saya sendiri, jadi ya, cerita diri saya saja yang bisa Anda baca.
Ini cerita perjalanan pulang saya dari Jakarta, habis mengantar Pak Fatah dari Kementerian Agama. Saat itu jalanan macet, dan saat-saat sepeti itu saya manfaatkan membaca buku, judulnya The Secret. Penampilan buku itu cukup cantik. Sampul luar licin keras kecoklatan sedang kertas bagian dalamnya, ful kertas lux dari halaman awal hingga akhir. Salah satu bab menarik di dalamnya adalah tentang pentingnya memberi. Kata buku itu, memberikan uang akan menjadikan kita merasakan berkelimpahan akan uang, dan perasaan itu akan membuat uang datang lebih banyak kepada kita. Membaca itu, saya jadi termotivasi untuk memberi. Hanya saja saya tidak mau berbuat atas petunjuk buku itu. Berbuat atas perintah ALLOH, itulah niat yang saya tetapkan. Kata-kata di buku itu hanyalah penguat supaya saya lebih yakin dengan perintah Alloh.
Tampak di pinggiran jalan, selain tukang kacang, tukang tahu dan tukang lontong, berdiri pula di sana beberapa orang pengemis. Kaca mobil saya buka, lalu berkali-kali, lembaran uang dua ribuan saya berikan kepada mereka. Ah memalukan, memberi uang dua ribuan saja diceritakan. Namun ini saya lakukan demi menambah keyakian saya akan janji ALLOH. Saya ingin keyakinan saya bertambah, bahwa jika memberi, Alloh akan memberikan balasan dan pengembalian yang lebih banyak, namun bagaimana cara datangnya pengembalian itu, dari mana, dari siapa, dan apa bentuknya, saya tidak pernah tahu, masih misteri.
Mungkin nanti Pak Fatah akan memberi kepadaku...tapi oh, itu tak mungkin. Jangankan memberi, dia sendiri saja sedang kerepotan. Untuk ongkos perjalanan ini, entah dia menghabiskan berapa. Saya tak berharap sama sekali. Saya hanya mengharapkan keuntungan dari Alloh. Saya menunggu. Keuntungan apakah yang akan datang kepada saya kemudian?
Akan tetapi, masya Alloh, rupanya, bukannya mendapatkan keuntungan, sebaliknya, yang saya dapatkan kemudian adalah, saya malah terancam kematian. Masuk Jalan Tol Cipularang, Pak Fatah diserang ngantuk. Saya panik dan tegang. Ngantuk di jalan tol adalah penyebab terbanyak kecelakaan maut. Saya ketakutan dan sadar, ternyata, bukan uang yang sekarang benar-benar saya butuhkan, tapi keselamatan. Saya hanya ingin selamat. Sungguh hanya ingin selamat, kembali ke rumah, kumpul lagi bersama keluarga tanpa kurang suatu apa.
Saya terus memikirkan bagaimana caranya supaya Pak Fatah terus-menerus dalam keadaan segar. Ingin saya melawak, tapi takut lawakan saya garing. Takut bukannya membuat Pak Fatah tertawa, tapi malah membuatnya sebal. Saya mencoba menghiburnya dengan perhatian, wajah siap mendengar curhatannya, supaya dia  merasa dihargai, bersemangat, mau bercerita, dan tidak ngantuk lagi. Namun gagal, yang biasanya banyak bicara, kini Pak Fatah lebih banyak diam. Ngantuknya makin akut. Berkali-kali kepalanya menunduk layu, seperti ayam kampung kena tetelo.
Pak Fatah istighfar, lalu  takbir, lalu solawat, lalu istighfar lagi, sholawat lagi, takbir lagi, berusaha mengusir ngantuk, tapi dia pun gagal. Dia mengeluh sambil memijit-mijit kepalanya sendiri.
“Haduh, ngantuk,” keluhnya.
Kemudian Pak Fatah mengulurkan tangan. “Pak Guru, tolong pijit jari-jari ini!”
Saya pijiti jari-jarinya, sejak pangkal hingga ujung, dengan gaya ahli akupuntur, sambil digetar-getarkan, namun tetap, bibir mata Pak Fatah terus-menerus mau terjun. Ganti pak Fatah menyuruh saya memijiti lehernya. Saya turuti, saya pijiti lehernya dengan sungguh-sungguh. Ingin rasanya mencekik leher Pak Fatah ini sampai lidahnya keluar dan matanya melotot, supaya tidak ngantuk, tapi tak berani. Saya pijiti biasa saja, dan tetap, ngantuknya tak juga pergi.
Ganti lagi dia minta dipijiti pelipisnya, saya penuhi, tapi susah, ngantuknya benar-benar parah. Harusnya, jika ngantuk dalam kendaraan, menepi dulu ke pinggir, istirahat dan tiduran, namun ini tak mungkin. Kami ada di jalan tol. Berhenti di pinggiran jalan tol bisa ditangkap polisi.
Pak Fatah sendiri terus berupaya mengusir ngantuk, dan akhirnya, “Pak Guru, tolong jitakin kepala saya!”
“Wah, Pak, tidak mau, itu tidak sopan.” Tolak saya.
“Alah , cepat!!!” paksa pak Fatah.
Saya angkat tangan dengan terpaksa, dan mulai menjitaki kepala Pak Fatah.
Karena canggung, jitakan saya perlahan saja.
“YANG KERAS MENJITAKNYA!!” Teriak Pak Fatah.
Perlahan-lahan, saya buat jitakan saya bertambah keras. Tapi lama-lama, kasihan juga, rasanya kok, saya begitu kurang ajar. Sepertinya, ini pertama kali dalam sejarah ada anak buah menjitak-jitak kepala majikannya.
Ketika jalan tol berakhir, lega rasanya. Tiba di Bandung, saya kira Pak Fatah mau menepikan mobilnya. Ternyata tidak. Terus saja dia tancap gas, padahal ngantuknya sudah sangat parah. Saya makin cemas. Di sebuah jalan, mobil menyerempet ke pinggir. Hampir saja seorang laki-laki terserempet. Untung  saja laki-laki itu meloncat.
Setelah kejadian itu, barulah Pak Fatah sadar, dia butuh istirahat, butuh tidur, maka mobil dia belokkan ke taman pom bensin. Lalu dia tiduran di sana. Saya lega selamat. Keselamatan inilah harta termahal. Tadi saya harapkan balasan uang dari sedekah saya, padahal keselamatan ini lebih mahal dari uang berapa pun jumlahnya. Alangkah cepat perhitungan Alloh.
Kami tiduran dan baru tersadar setelah udara mulai dingin. Tengah malam telah lewat, waktu pun turun ke dini hari. Pak Fatah telah segar, siap lagi meneruskan perjalanan. Kini kembali wajahnya ceria, mulutnya kembali berkicau, dan tawanya ngakak lagi. Dia curhat tentang ini tentang itu, tentang lembaga pendidikannya, tentang rumah tangganya, dan akhirnya, dia bercerita tentang istrinya yang sangat muda itu.
Saya dengarkan penuh perhatian segala curhatnya. Kata dia, istri mudanya kini telat bulan. Kemungkinan besar dia hamil, namun dia masih tanda tanya, belum bisa memastikan kehamilannya. Pak Fatah mengungkapkan, ketika si istri memberitahukan tentang perutnya, terasa kebahagiaan merayapi batok kepalanya.
Saya tanggapi dengan tawa, sikap antusias, dan saya tunjukkan kegembiraan atas kabar baiknya, lalu, supaya dia bisa memastikan hamil tidaknya si istri, saya sarankan kepadanya membeli tes urin.
“Dari mana?” tanya Pak Fatah.
“Dari apotek.” Jawab saya
Tepat pada saat itu, kami melewati apotek. Pak Fatah menepikan mobilnya, menyuruh saya membeli tes urin. Saya beli dengan gembira, membawanya ke mobil dengan gembira, saya berikan dengan gembira, dan Pak Fatah pun, menerimanya dengan gembira. Curhatnya makin deras.
Pak Fatah gembira sekali. Saking gembiranya, dia ajak saya makan di rumah makan, jajan buah-buahan, memberi saya setangkai anggur, dan selembar uang lima puluh ribu. Subhanalloh, ini benar-benar rizki tak terduga.
Memberi, menjadikan perjalanan saya penuh misteri.
Jika Anda ingin jalan hidup Anda penuh misteri, mari kita jalani hidup sebagai pemberi.
Rajin-rajinlah memberi.

No comments:

Post a Comment