Pernah
terjadi orang benci kepada ahli sufi, mengatai mereka penghambat zaman, anti
kemajuan. Karena mengajarkan kesedernaan, ahli sufi dituduh mengajarkan
kemelaratan. Padahal jika ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya mereka
mengajarkan kekayaan. Dalam masalah harta, mereka mengajarkan hidup sederhana,
menggunakan harta secukupnya saja, dan memberikan sisanya kepada orang lain.
Mereka
mengajarkan bermurah hati, membersihkan diri dari sifat kikir, meninggalkan
cinta dunia, membersihkan harapan kepada selain Alloh, dan berharap hanya
kepada Alloh, dan yakin dengan kekayaan Alloh, dan itu semua sesungguhnya
ajaran yang akan menjadikan seseorang menggapai kekayaan.
Tashawuf
yang benar-benar Qur’ani bukannya mengajarkan kemelaratan, justeru mengajarkan
kita cara termudah meraih kekayaan, menggenggam dunia, supaya agama Alloh ini
tegak. Tashawuf Qur’ani justeru mengajak manusia menjadi kaya, tetapi diri
tetap sederhana, lebih memikirkan kepentingan orang lain, daripada hanya sibuk
dengan diri sendiri.
Tashawuf
mengajarkan dzikir sepanjang waktu, artinya hingga ketika kerja pun dzikir
tidak pernah putus. Dzikir menjadikan seseorang khusyuk, tekun, sabar dan
ulet. Dan sifat-sifat itu membawa
seseorang pada kekayaan.
Tashawuf
Qur'ani mengajarkan, kehidupan dunia hanyalah permainan. Uang adalah permainan,
emas perak adalah permainan, rumah megah adalah permainan, kendaraan adalah
permainan. Jangan diagung-agungkan apalagi dipuja-puja. Mengagungkan dunia
hanya akan menjadikan dunia itu balik menghinakan kita. Sebaliknya, memandang
rendah dunia, akan membuat dunia itu tunduk merendah di hadapan kita. Dan itu
adalah ajaran meraih kekayaan.
Tashawuf
Qur’ani mengajarkan, kehidupan dunia ini hanyalah permainan. Dalam sebuah
permainan, banyak sekali jebakan, banyak sekali tipuan. Hal yang sepertinya
merugikan, sebenarnya itu membawa kemenangan, sebaliknya, hal yang sepertinya
membawa kemenangan, sebenarnya itu membawa kerugian. Kerja keras mencari uang,
mengumpulkannya dan menyimpannya, sepertinya bisa menjadikan seseorang kaya
raya, padahal sebenarnya tidak, perilaku itu justeru malah menjadikan membuat
seseorang susah dan serakah. Sebaliknya menyedekahkan harta, memberikannya
kepada orang yang berhak menerimanya, dan tidak menumpuk-numpuknya bisa
menjadikan harta seseorang bertambah.Itulah yang diajarkan para sufi, dan
ajaran itu membawa seseorang pada kekayaan.
Seorang ulama
hadits dan fiqih madzhab Syafi’i, memuji-muji kemiskinan di atas kekayaan. dia
Menulis kitab berjudul Tasyrif Al-Faqr
‘ala al-Gina, tetapi kehidupan dia sendiri tidak tergolong miskin, seperti
bisa dibaca dalam biografinya dalam kitab Raf’u
al-Isr’Anda Qudati Misr karya Al-Hafizh Ibnu Hajar.
Sungguh, para sufi
tidak mengajarkan kemelaratan.
Al-Hafizh Ahmad
bin Ali Al-Mishri, seorang ulama yang hidup sejak tahun 770 hingga 837
Hijriyah, pernah menulis al’Falakah wa
al-Maflukun menyediakan satu bab khusus tentang berbagai risiko kemiskinan.
Panjang sekali dia membahas tentang kemiskinan hingga menghabiskan 20 halaman.
Di sini hanya dicantumkan ringkasannya saja:
Pertama,
kemiskinan bisa menyesakkan dada, melemahkan, dan menghinakan martabat di
hadapan orang lain. Sebab, kebahagiaan dan kegembiraan hanya muncul dari akhlaq
yang terpuji dan dada yang lapang. Kesedihan akan menjamur dalam jiwa yang
sempit dan tunduk kepada makhluq.
Kedua, kemiskinan
mengakibatkan keterpaksaan dan menumbuhkan akhlaq tercela, seperti dusta,
mencuri, dan munafik.
Ketiga, kemiskinan
cenderung menumbuhkan sikap dengki kepada orang yang mendapat nikmat dan
gembira dengan tersingkirnya nikmat. Melihat orang lain melarat, muncul rasa
senang karena ada kesamaan nasib. Sikap dengki-mendengki mewabah diantara orang
miskin.
Keempat,
kemiskinan membutakan mata sehingga menganggap kenikmatan pada orang lain lebih
pantas melekat pada dirinya.
Kelima, kemiskinan
menyebabkan seseorang berpaling dari orang lain, menutup diri dan
menggunjingnya. Sebab orang miskin yang melihat orang kaya akan merasa segan
berdampingan dengannya. Biasanya, dia akan mengorek sisi buruk dan aib orang
kaya itu. dengan begitu ia merasa dirinya lebih unggul. Demikian keyakinan yang
tertanam dalam lubuk hati si miskin. Ia akan menelanjangi sifat buruk orang
yang digunjingnya tadi. Dengan demikian, ia merasa dirinya paling sempurna. Itu
adalah taktik pengalih perhatian agar orang-orang lebih menghiormati dan
mencintainya. Rasa dengkinya terobati dan merasa nikmat dengan menggunjingkan
orang lain.
Keenam, kemiskinan
bisa mengambrukkan harkat manusia, memasung dan melemahkan lisan. Kekayaan
laksana kefasihan, sedangkan kefakiran laksana kebisuan. Banyak sekali
perselisihan pendapat yang berpangkal dari sebuah kalimat dan perbuatan. Bila
orang miskin yang berbicara, maka akan tertolak pendapatnya. Jika orang kaya
yang berbicara, tentu akan diterima. Memang, jiwa cenderung menyukai orang kaya
daripada orang miskin.
Ketujuh, orang
miskin selalu cemas ketika menerawang kondisi sekarang dan masa depan. Ia
beranggapan akan terus dirundung duka dan penderitaan. Apalagi kalau memiliki
tanggungan keluarga atau menderita penyakit parah.
Kedelapan, orang
miskin selalu menanggung kepayahan, kelelahan, dan beban batin ketika menempuh
perjalanan, sementara di rumah tidak ada secuil nafkah pun.
No comments:
Post a Comment