Thursday, 14 March 2013

KITA JELAJAHI DUNIA



Rasa pelitlah yang membuat kita terkungkung di kampung kita. Rasa pelit adalah rantai baja bergembok raksasa yang membuat kita tidak bisa ke mana-mana. Lepaskanlah rantai itu, bebaskan belenggumu dengan memberi. Tinggalkan dan jangan pernah kau lirik lagi. Tutuplah sifat pelit itu dalam sebuah peti besi tebal, kuncilah dan lemparkan anak kuncinya jauh-jauh. Kita pergi dan jelajahi dunia karunia Alloh ini, memasuki wilayah-wilayah baru, kehidupan baru, orang-orang baru, suasana baru, dan pengalaman-pengalaman baru.
Murah hati adalah sepasang sayap elang yang bisa mengembang dan mengepak, membawa si burung tinggi menjelajahi udara seluas-luasnya, sebebas-bebasnya. Menuju dunia luas, tempat dia bisa pergi kemana saja sesuka dia, menikmati alam baru, menyaksikan pemandangan baru.
Sifat memberi ini sebuah misi yang akan diterima oleh seluruh dunia. Selama ini dunia sesak dengan orang-orang yang inginnya hanya mendapatkan, maka banyak sekali copet, koruptor, penjajah, pencuri, perampok, tukang tipu, dan banyak lagi kejahatan lain. Dan selama ini dunia miskin dari orang yang senang memberi, senang berkorban. Dunia sangat butuh dengan orang-orang seperti itu, maka seluruh dunia sangat membutuhkan para penyeru yang mengajak manusia untuk cinta memberi. Jika kita tampil dengan penuh keberanian, maka kita akan menjadi manusia yang sangat dibutuhkan.
Aku telah menikmatinya sendiri. Tatkala rasa pelit itu kulepaskan, memang pada mulanya ada semacam kewaswasan, namun akhirnya, saya rasakan, saya bisa memasuki dunia baru, pengetahuan baru, orang-orang baru, dan kehidupan baru. Perjalanan menyenangkan, gemerlap kota dan kenikmatan makanan, orang-orang dari seluruh pulau nusantara, kutemui setelah aku mencoba nekad untuk memberi. Kalau Anda mau membaca, saya akan menceritakan kisah selengkapnya, hanya dalam cerita ini, saya mengganti panggilan diri dengan kata ‘aku’ supaya lebih pendek. Inilah kisahnya:
Orang berbadan besar itu sedang duduk di jalur suci. Jalur suci adalah semacam jalan yang mempunyai saung di tengah komplek asrama pesantren. Kursi yang tampak kekecilan dibanding demplon pantatnya. Dua orang sedang menemaninya ngobrol dan dia menghadapinya dengan serius. Namun melihat kedatanganku, dia antusias menyambut. “Ada apa Jang?” tanyanya.
Oh, gembiranya aku dipanggil ujang. Kayak bujangan lagi gitu. Padahal, sudah beristri beranak. Hehe.
Kukatakan kepadanya ingin melihat data santri. Dia tanya mau apa dengan data itu. Kujawab ingin melihat data anak yatim, aku ada rizki sedikit. Lalu dia katakan, anak yatim itu telah ada walinya masing-masing, telah ada yang menanggungnya.”Saran saya, supaya epektif, berikan saja pada santri yang jelas-jelas kurang mampu, itu di bagian kebersihan.” 
Mendengar itu aku tertegun, sebab aku hanya ingin memberikan uangku kepada anak yatim. Itu pun anak yatim dari para santri perempuan. Bukannya tidak ingin memberi kepada santri laki-laki, namun sebagian mereka perokok dan aku khawatir mereka membelikan uang itu untuk rokok. Aku tak rela, sedang jika uang itu kuberikan kepada santri yatim perempuan, tidak munkin mereka membelikannya untuk rokok.
Kukatakan lagi pada Kang Ajid, orang berbadan besar itu, bahwa aku tetap ingin memberi anak yatim. Namun dia kembali mengulangi sarannya, supaya apektif, lebih baik uang diberikan kepada santri kurang mampu saja. Dan aku kalah ketika dia teriak memanggil seorang santri ketua kebersihan. Dan aku pasrah. Biarlah, mudah-mudahan memberi mereka pun besar pahalanya.
Dan ketika ketua kebersihan datang, kucium tangan Kang Ajid, mengikuti santri itu menuju pondok kayu sederhana di pinggir sawah. Ketika masuk, di dalamnya banyak sekali lemari. Itu lemari milik para penghuninya.
Si Ketua kebersihan mempersilahkanku duduk pada sebuah bangku kayu yang dialasi tikar. Langsung kutanyakan kepadanya, berapa orang semuanya di sini?. Dia katakan, dua belas orang.
“Tidak keberatan jika aku titip pesan?” tanyaku.
“Tidak sama sekali” jawabnya.
“Uang ini memang sedikit. Tapi, tolong sampaikan kepada teman-temanmu, jangan sampai membelikan uang ini pada rokok. Mereka suka merokok?”
“Ya.”
“Tolong sampaikan ya!”
“Iya”
“Anda sendiri suka merokok?” tanyaku
“Tidak.”
“Nah, kalau begitu, khusus untukmu aku beri lebih. Yang lain sepuluh ribu, Anda dua puluh ribu.”
“Terima kasih sebelumnya. Terima kasih sekali.”
Bereslah uang hari itu  kuberikan. Total semuanya 170.000. Lega sekali dan rasanya begitu bahagia mendengar orang itu berterima kasih kepadaku. Seharusnya, bukan orang itu yang berterima kasih kepadaku, tapi akulah yang harus berterima kasih kepadanya. Mereka telah menerima pemberianku, dan karena itu, berarti mereka menyediakan dirinya untuk kujadikan jalan menggapai keridhaan Alloh.
Ingat segala karunia Alloh dan kemurahan-Nya rasanya aku ingin menangis. Dia memberikan rezeki kepadaku, dan setelah itu dia ilhamkan juga kepadaku kemauan untuk memberikannya. Uang itu kusedekahkan karena telah kurasakan kebenaran janji-Nya. Setelah aku memberi kepada orang-orang, pendapatkanku menjadi banyak, melimpah ruah, datang dari mana-mana. Betapa kasih sayangnya Alloh kepadaku dan kepada semua manusia. Lihatlah Dia telah memberi tahu, bahwa mendapatkan rizki sebanyak-banyaknya caranya mudah saja, yaitu tinggal memberi sebanyak-banyaknya. Motor yang kutunggangi ini, adalah bukti nyata kebenaran janji Alloh itu. Setelah aku memberi kepada anak-anak yatim, tiba-tiba kepala sekolah memberikanku sebuah motor. Vega R.
Sekarang, setelah uang itu kuberikan kepada mereka, tinggal kutunggu, apa yang akan Alloh kehendaki pada kehidupanku. Aku tinggal menunggu.
Dan hari Jum’at kuterima sebuah pesan dari wakil kepala sekolah, jika aku harus siap-siap, sebab hari Senin nanti, aku harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti seminar selama tiga hari.
Dalam hati aku menduga-duga, “Ya Alloh, benarkah jalan rizkiku akan datang dari sana, dari kota, dari Jakarta. Tapi bagaimana? Ya Alloh, aku berserah diri kepada-Mu, aku tidak mau berharap terlalu banyak kepada manusia. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Memberi.”
Tiba hari Senin, wakil kepala sekolah mengantarkanku ke kota dengan kijang coklat. Derat-derit suara onderdilnya menyedihkan sekali. Aku kasihan kijang ini dibawa lari kencang. Kami diburu waktu, jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih, sedang aku, harus sampai di Jakarta sebelum pukul 4.00 sore. Jika terlambat, bisa gagal acaraku. Sebab salah satu syarat mengikuti acara itu aku harus mendapatkan kartu undangan dari loantai 8 Kementerian Agama. Tanpa kartu undangan itu aku takkan bisa memasuki hotel. Kartu undangan itu sebagai tanda bahwa aku sah bisa mengikuti seminar.
Tiba di terminal, sebelum naik bis, wakil kepala sekolah memberiku uang tiga ratus lima puluh ribu. Tak kusangka, padahal ke Jakarta, bolak balik, cukup dengan uang seratus ribu. Atau paling banyak seratus lima puluh ribu. Di dalam mobil aku menangis, ingat kemurahan Alloh kepadaku.
Alhamdulillah, aku tiba di lantai 8 Kementerian Agama sebelum pukul 4.00. surat undangan itu kudapatkan, dan aku menuju hotel.
Hotel? Aku menuju hotel? Kalau tidak salah, inilah kali pertamanya aku menginap di hotel.
Kukira, hotel Jakarta bukanlah hotel sembarangan.  Paling tidak lima tingkat denan fasilitas turun naik pake lip. Dan ternyata, lebih dari yang kuduga. Hotel yang kudatangi itu sebuah hotel dengan tarip mahal. Seratus ribu per jam. Setidaknya aku akan dua hari tinggal di sana, maka berate aku akan tinggal 2 x 24 jam = 48 x 100.000 = 4.800.000.
Dan demikianlah yang terjadi. Aku tinggal di hotel itu dalam keadaan bahagia sekali. Makan enak, boleh milih sesuka hati, dengan menu-menu bergizi, buah-buahan, pudding, minuman-minuman enak, tidur dan mandi dengan nyaman sekali. Di kamar mandi ada cermin besar, yang setiap kali aku masuk ke sana, aku bisa melihat wajah tampanku. Hey, Anda jangan mencibir dong. Bukannya aku sombong ngaku-ngaku tampan! Kan diajarkan oleh agama juga, jika bercermin itu kita harus berdo’a. Ya Alloh, sebagaimana Engkau telah memperindah wajahku, perindah pula akhlaqku.” Berarti di sana ada pengakuan, bahwa wajah kita ini indah. Ya, begitulah alasannya mengapa aku ngaku-ngaku diriku tampan. Tampan sekedar jika dibandingkan dengan binatang.
Kita teruskan lagi, pokoknya aku tinggal di hotel itu dengan fasilitas serba menyenangkan. Kamar full AC, televisi, tempat tidur empuk, meja rias, telfon, internet bebas pulsa, kamar mandi dengan shower, yang jika diputar tombolnya, air seperti hujan menyiramku, yang jika aku mau, aku bisa memutarnya menjadi dingin, dan bisa pula memutarnya menjadi air hangat.
Satu jenis makanan paling tidak berharga tiga puluh ribu, belum jika ingin makan berbagai macam, belum lagi minuman, buah-buahan, entah harus berapa uang kukeluarkan jika harus dari saku sendiri. Tapi di sini, aku bisa bebas makan sesukanya, mengambil apapun yang kuinginkan, daging sapi, sayur, goreng ayam, cap-cay, rujak, dan berbagai macam makanan yang enak-enak, dan semua itu gratis. Kalau kuhitung, entah berapa juta yang harus kubayar untuk semua fasilitas ini.
Oh ya, hotel yang kutinggali ini namanya hotel Maharani. Kalau tidak salah, ada sembilan entah sepuluh tingkat, aku lupa lagi. Aku turun naik ke atas ke bawah, bisa memakai lif. Dan beres acara seminar, panitia menganti ongkosku sebesar 300.000, kemudian bekal harianku sebesar 690.000. Jadi semuanya 990.000. Uang di dompetku bertambah 990.000. Masya Alloh.
Ini semua, kehadiranku di sini, dan semua fasilitas yang kunikmati, semua ini atas kehendak Alloh. Ini sangat jarang kudapatkan, dan yakin kudapatkan, karena Alloh tidak pernah mengingkari janji-Nya…
Inilah balasan dari sedekahku beberapa hari lalu. Ya Alloh, terima kasih ya Alloh. Ini sebuah petualangan yang indah. Luas rasanya dunia, dan aku tiba di tempat yang tidak pernah kuinjak sebelumnya, bukan dengan kemampuanku melainkan dengan kekuasaan Alloh. Itu baru sedekah sedikit saja, maka pastilah terlebih lagi jika sedekah lebih banyak, aku akan menikmati petualangan ke seluruh dunia.

No comments:

Post a Comment